, , , , ,

Perjalanan Panjang Menuju LPDP (Bagian 1)

Seharusnya tulisan ini tidak dipublikasikan di sini, tetapi saya tahu bahwa akan ada banyak orang yang mencari pengalaman orang-orang yang lolos LPDP melalui search engine maka lebih baik saya publikasikan di blog yang saya peruntukkan untuk umum.

Singkat cerita, tanggal 10 Maret sekitar jam 9 malam, saya mendapatkan email dari LPDP yang menyatakan bahwa saya lulus seleksi substansi. Saat itu ibu saya duduk di sebelah saya sambil makan malam (ibu saya harus melakukan terapi sekitar jam 7-9 malam sehingga makan malamnya seringkali telat). Hati saya campur aduk, pikiran saya kacau. Saat itu saya sangat kaget, bahagia, bingung dan juga terharu. Air mata saya sedikit tumpah dan saya langsung memeluk ibu saya, "Mama, gak apa-apa ya adek tinggal dua tahun?" tanpa memperdulikan ibu yang belum selesai makan.

Kemudian saya berlari ke kamar orang tua saya, menghampiri ayah yang tertidur pulas setelah seharian bekerja seraya berkata, "Bapak, bangun, Pak. Adek dapet LPDP!" dan seketika ayah langsung bangun dan memeluk serta tersenyum bahagia.

Ibu saya tidak melanjutkan makanannya, katanya tidak nafsu makan lagi. Dia cukup kenyang dengan berita bahagia ini. Ayah saya langsung terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Kakak saya yang tinggal terpisah langsung saya telepon. Tak henti-hentinya kami mengucapkan syukur. Maka sebelum kami semua pergi tidur, kami bertiga berkumpul untuk berdoa dan mengucap syukur yang dipimpin oleh ayah. Tuhan itu baik.

Logo LPDP. Sumber: PK-47 LPDP Dipta Kirana (www.diptakirana.org)


Resign, Ngumpet, dan Bergumul

Sekitar bulan September 2015 di sela-sela kesibukan persiapan Clean Up Jakarta Day yang mana waktu itu saya masih menjabat sebagai koordinator, Arya, kolega saya yang bekerja sebagai intern di Adaro, mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan S2 di luar negeri dan sudah diterima di beberapa universitas, salah satunya Wageningen University. Saya yang waktu itu tahu bahwa Wageningen University merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik dunia di bidang pertanian sangat takjub mendengarnya, wow, kok bisa?

Lalu Arya menjelaskan betapa sederhananya proses pendaftaran di Wageningen University dan mendorong saya untuk mengajukan aplikasi magister ke sana. Saya tahu bahwa program Food Technology di Wageningen University merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan memang saya ingin melanjutkan pendidikan linier dengan pendidikan S1 saya karena ingin bekerja sebagai dosen yang mengabdi kepada masyarakat (I know it sounds wishful and unrealistic, but it's true!). Maka saya iseng, dengan surat motivasi seadanya tanpa pengecekan ulang, saya mengirimkan aplikasi ke Wageningen University. FYI, pengiriman aplikasi melalui daring ini gratis dan tidak dipungut biaya, makanya tergolong mudah untuk mendaftar ke sana.

Dua minggu berlalu dan sebenarnya saya tidak lagi ingat akan aplikasi yang saya kirim sebab sungguh persiapan untuk Clean Up Jakarta Day yang berlangsung pada tanggal 18 Oktober 2015 sangat menyita perhatian, energi dan waktu saya. Saya bahkan sering baper dan menangis apabila tekanannya sudah mulai meningkat. Bayangkan saja, telpon tidak berhenti berdering bahkan hingga malam hari. Namun saat sedang perjalanan pulang menggunakan Patas AC05 jurusan Blok M-Bekasi, saya menerima sebuah surel di telepon genggam saya, ternyata dari Wageningen University. Di dalam surel tersebut dinyatakan bahwa saya diterima secara kondisional, yaitu harus melengkapi hasil tes bahasa Inggris yang diakui (karena waktu pendaftaran saya hanya memasukan hasil tes TOEFL ITP saya yang walau nilainya 580 tapi tidak diakui secara internasional).

Haru dan bangga akan surel tersebut, saya menjadi optimis bahwa saya masih mampu untuk dapat melanjutkan ke S2. Saya bergumul di dalam doa, sanggupkah saya mewujudkan impian saya tersebut di saat pekerjaan saya yang sekarang sudah cukup baik bagi saya? Akhirnya saya memutuskan untuk segera mengajukan pengunduran diri dua minggu setelah Clean Up Jakarta Day selesai karena saya merasa, mungkin inilah jalan yang ditunjukkan Tuhan.

Sebelumnya, saya nekat mendaftarkan diri untuk tes IELTS di bulan November tanpa ada keinginan ikut kursus karena lini waktu sudah saya perhitungkan dengan baik apabila saya ingin mendaftar LPDP periode 1 di tahun 2016, serta karena faktor keuangan. Saya hanya bisa berusaha dan berdoa supaya semua pengorbanan dan kerja keras tidak sia-sia.

Dua minggu penuh setelah saya mengundurkan diri saya gunakan untuk mempelajari IELTS secara otodidak. Saya menghabiskan waktu saya di kamar untuk belajar dan belajar, bahkan ibu sempat marah karena saya berada di rumah tetapi seperti orang asing yang hanya meminjam kamar dan ngumpet sepanjang hari. Tetapi saya memang tipe yang konsentrasinya tidak dapat terbagi. Saya harus fokus dalam mengerjakan sesuatu.

Akhirnya hari tes IELTS tiba juga yaitu Sabtu, 21 November 2015. Sempat merasa tidak percaya diri karena saya sepertinya satu-satunya yang tidak mengikuti kursus informal maupun full simulation. Dan bahkan saya tidak punya mentor untuk memeriksa writing dan lawan bicara untuk speaking test-nya (well, Mom Sharlene did help in my speaking practice by calling me through Facebook. Thanks, Mom!). Saat itu saya hanya sarapan sedikit karena saya memang tidak bisa makan banyak di pagi hari. Alhasil, dengan lamanya waktu tes yang mencapai hampir 4 jam, perut saya tidak berhenti berdendang sepanjang tes. Ini pelajaran untuk teman-teman semua yang akan mengikuti tes IELTS, sarapanlah yang cukup, jangan biarkan perut lapar mengganggu konsentrasi kamu.

Di tengah-tengah masa pengangguran sembari menunggu hasil tes IELTS, ternyata Tuhan sekali lagi menunjukkan kasih-Nya. Saya mendapatkan undangan untuk mengikuti Social Media Training dan menjadi Social Reporter sebagai perwakilan YPARD di High Level Policy Dialogue on Investment in Agricultural Research for Sustainable Development in the Asia-Pacific Region di Bangkok tanggal 5-8 Desember 2015. Saya terharu masih diberi kesempatan untuk mengembangkan sayap.

Menuju LPDP

Sepulang dari Bangkok, saya langsung mengambil Test Report Form dari kantor The British Council, Jakarta. Hasil tes IELTS sangat mengejutkan dan mencengangkan. Pasalnya, saya ini benar-benar belajar otodidak dengan minim bantuan. Overall score saya 7.5 dengan rincian sebagai berikut:

Reading: 9.0
Listening: 8.0
Writing: 6.5
Speaking: 6.5

Lagi-lagi saya bersyukur karena awalnya saya berpikir kemampuan berbahasa Inggris saya telah berkurang jauh. Ditambah lagi dengan ketakutan-ketakutan saya setelah membaca pengalaman orang di internet bahwa tes IELTS terhitung cukup sulit dan berbeda dengan materi bahasa Inggris yang diajarkan di sini, baik di kursi sekolah maupun di lembaga informal yang cenderung menekankan pada teori dan grammar. IELTS terkenal dengan pengujian sejauh mana kita paham untuk mengolah dan menyampaikan informasi dalam bahasa Inggris. Jangan sampai biaya tes yang tidak murah sebesar 2,7 juta rupiah itu sia-sia karena harus mengulang.

Bagaimanapun juga saya harus berterima kasih kepada pekerjaan saya sebelumnya di mana atasan saya merupakan seorang wanita berkewarganegaraan Inggris dan merupakan Chief Editor dari majalah Indonesia Expat yang diperuntukkan bagi para ekspat yang tinggal di Indonesia. Karena saya sering berkomunikasi, dan menulis surel dan publikasi dalam bahasa Inggris, sedikit banyak saya terbantu untuk melatih kepercayaan diri saya dalam berbahasa Inggris.

Berkas-berkas untuk pendaftaran satu-persatu mulai terlengkapi. Hanya saja ada beberapa dokumen yang harus saya mintakan langsung dari dosen saya di Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, seperti surat rekomendasi. Pada waktu itu saya meminta bantuan Dr. Danar yang walaupun bukan pembimbing akademik maupun skripsi saya semasa kuliah, tetapi selalu bersedia untuk membantu saya, termasuk dulu waktu saya mencari sponsor ke IAAS World Congress di Amerika Serikat.

Beruntung teman saya akan melangsungkan resepsi pernikahan tepat pada saat malam Natal waktu itu sehingga kedatangan saya ke Solo tidak hanya sekedar bertemu dosen dan minta surat rekomendasi. Selain itu saya juga akhirnya memutuskan untuk medical check-up (MCU) di Solo. Bersama dengan seorang teman baik bernama Yoga yang juga berencana untuk melanjutkan S2, kami melakukan general MCU dan tes bebas narkoba dan TBC di RS Moewardi. Pada awalnya saya memang ingin melakukan MCU di Jakarta, di rumah sakit tempat ibu saya rutin kontrol (RSPAD Gatot Subroto). Tapi ternyata untuk tes bebas TBC memiliki prosedur yang cukup ribet sehingga saya memutuskan untuk ke rumah sakit pemerintah di Solo saja.

Untuk MCU, tes bebas narkoba, dan bebas TBC total biayanya kurang dari 350 ribu rupiah dan selesai dalam waktu tiga hari. Saya sangat merekomendasikan teman-teman yang berwilayah di Solo, apabila ingin mendaftar LPDP bisa melengkapi syarat kesehatan di rumah sakit ini karena selain murah juga pelayanannya cepat dan tidak ribet.

Oh iya, mungkin saya belum bercerita tentang esai LPDP. Sebelumnya sekitar bulan Juni, saya mengikuti seleksi mentorship program yang diadakan oleh Indonesia Mengglobal. Puji Tuhan saya lolos di tahap 60 besar. Walaupun tidak mendapatkan beasiswa yang disediakan untuk 30 mentee terbaik, tetapi saya masih mendapatkan mentorship yang menurut saya sama berharganya. Betapa tidak? Co-founder dari Indonesia Mengglobal lah yang menjadi mentor saya, beliau bernama Martin Tijoe. Try to google his name and you will be amazed, I promise.

Martin membantu mengoreksi esai-esai yang saya ajukan untuk beasiswa, termasuk salah satunya untuk LPDP. Berkali-kali saya harus merevisi draft esai, baik itu esai "Sukses Terbesar dalam Hidupku" maupun "Kontribusiku bagi Indonesia". Tak hanya itu saja, Martin juga menghubungkan saya dengan awardee LPDP yaitu Ka Ari dan Ka Fenryco untuk membimbing secara khusus ketika saya lolos ke seleksi substansi LPDP. Karena itu saya sangat bersyukur dan berterima kasih sekali atas bantuan Indonesia Mengglobal dan Martin khususnya.

Berbekal Letter of Acceptance (LoA) Unconditional yang saya dapat dari Wageningen University sekitar seminggu setelah saya kirim hasil tes IELTS saya, saya pun mengirimkan aplikasi saya ke LPDP sekitar awal Januari dan mendapatkan nomor pendaftaran yang masih awal, yaitu pendaftar ke-64 untuk batch 1 di tahun 2016. Penantian panjang saya pun dimulai lagi.

...to be continued to part 2...

0 comments:

Post a Comment